Suatu hari, Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril pergi menemui salah satu makhluk-Nya. Kali ini yang didatangi adalah kerbau. Di siang yang panas itu, si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril menjumpainya dan bertanya:
“Wahai kerbau apakah engkau senang diciptakan Allah SWT sebagai seekor kerbau?” Si kerbau menjawab”
“Masya Allah, alhamdulillah aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikanku seekor kerbau. Aku sungguh masih beruntung daripada aku dijadikan-Nya menjadi seekor kelelawar. Bukankah mereka itu suka mandi dengan air kencing sendiri?”
Mendengar jawaban itu, malaikat Jibril segera pergi menemui seekor kelelawar. Malaikat Jibril mendatangi sang kelelawar yang siang itu sedang tidur bergelantungan dalam sebuah gua. Malaikat Jibril lalu bertanya: “Wahai kelelawar apakah engkau senang dijadikan Allah sebagai seekor kelelawar?” Si kelalawar-pun menjawab: “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikanku seekor kelelawar. Sungguh aku masih sangat beruntung daripada aku dijadikan-Nya menjadi seekor cacing dan berjalan menggunakan perutnya.”
Mendengar jawaban itu, malaikat Jibril segera pergi seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah. Malaikat Jibril lalu bertanya: “Wahai cacing, apakah engkau senang dijadikan Allah sebagai seekor cacing?” Si cacing-pun menjawab: “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikanku seekor cacing. Sungguh aku merasa beruntung daripada aku dijadikan-Nya menjadi manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal shaleh, ketika mati mereka akan disiksa untuk selama-lamanya!”
Kita bisa memetik tiga pelajaran dari kisah di atas tersebut. Pertama, dunia dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya diciptakan dengan kesengajaan dan skenario yang pasti, bukan main-main dan atau kebetulan belaka. Maha Suci Allah yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya dengan keteraturan, sistem yang rapi dan berpasang-pasangan. Sungguh semua sistem dan untaian kosmis serta keteraturan jagad raya ini tidaklah terjadi secara kebetulan atau sekadar untuk mainan belaka.
Allah SWT berfirman: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Demikianlah anggapan orang-orang kafir, celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (Q.S Shad: 27).
Jagad raya adalah skenario besar Allah SWT dengan tujuan yang dahsyat pula. Saat menafsirkan ayat itu, Ibnu Katsir menjelaskan: “Tidaklah Allah menciptakan langit dan bumi itu sia-sia belaka, tetapi dengan haqq (skenario yang pasti). Allah membalas orang yang berbuat jahat dengan balasan yang setimpal dan memberikan pahala bagi yang berbuat baik. (Tafsir ibnu Katsir Jilid 1, h. 440).
Allah SWT berfirman: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan hak, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (Q.S Al-Dukhan : 38 – 39)
Allah SWT berfirman: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.”(Q.S al Jatsiyah: 22)
Salah satu tujuan besar dan dahsyat penciptaan manusia, misalnya, tiada lain agar mereka beribadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.: (Q.S Al-Dzariyat: 56).
Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi dalam buku mu’jizat al Qur’an Jilid IV halaman 137, pernah menjelaskan arti ibadah sebagai berikut: “Allah SWT menciptakan manusia tiada lain untuk beribadah kepada-Nya. Inilah misi penting yang tidak bisa dipungkiri siapapun. Allah memberitahukan bahwa penciptaan manusia adalah untuk beribadah. Tetapi, pertanyaan adalah apakah ibadah hanya sekedar duduk-duduk di masjid dan berdzikir? Bukankah al Qur’an menjelaskan kepada manusia seputar kewajiban beribadah, bekerja, melawan ketimpangan, berdakwah dengan cara yang baik dan sebagainya. Semunya dijelaskan agar terjadi kelangsungan yang dinamis dalam kehidupan manusia.”
Kedua, belajar dari semua hewan tadi, hendaknya kita senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas pemberian yang diberikan kepada kita, yang tentunya berbeda dengan orang lain. Dengan demikian kita tidak akan pernah iri apalagi dengki terhadap nikmat yang diberikan kepada orang lain serta lupa akan nikmat kepada diri sendiri.
Seorang sufi pernah mengadukan kesedihannya karena sandal miliknya hilang dan ia tidak kuasa membeli sandal yang baru. Saat masuk ke salah satu masjid raya di kota Kuffah, pada saat dirinya merasa sedih, tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang berjalan tanpa kedua kakinya. Betapa ia kemudian bersyukur seranya memuji Tuhannya. Ternyata, apa yang menimpa orang lain, sungguh lebih berat daripada yang dialami dirinya!.
Ketiga, manusia tidak lebih dari seenggok daging yang kelak menjadi santapan cacing; kelak berubah menyatu dengan tanah saat dirinya tidak berdaya. Perhatikanlah dengan seksama penyesalan orang kafir kelak seperti pernah direkam dalam al Qur’an. Allah berfirman:“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (wahai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku adalah tanah.” (Q.S Al-Naba’: 40).*
Wallahu a’lam bisshowab.