Pada tanggal 12 April tahun 1946 lahirlah seorang anak yang bernama Ahmad Suhaimi bin Hasan bin Muhidin bin Adzim, dari seorang ibu yang bernama Rodiah binti Rasimin bin Wala bin Sarbi di Kampung Kedung Dalem, Desa Kedung Dalem, Kec. Mauk, Kab. Tangerang, desa terpencil di utara Tangerang yang lebih kurang 21 KM dari kota Tangerang.
Ketika beliau kecil selalu membantu ayahnya bertani di sawah sebagai petani penggarap (macul, nandur, babat rami, ngoyos dan mikul padi) selama 6 tahun dari kelas I s.d. kelas VI SR. Setelah pulang sekolah dan makan siang, beliau menjemput ayahnya yang berjarak 5 km untuk memikul ubi jalar, karena ayahnya setiap hari berangkat ke daerah Rajeg Tangerang untuk membeli ubi jalar di kebun. Lalu diserahkan kepada ibunya untuk dijadikan kue-kue sejenis ubi-ubian diantaranya getuk, nyul, ketimus, gengsot, gatet dan orog-orog. Kadangkala membantu ibu untuk mengambil daun kangkungan. Walaupun tugas berat, beliau tetap mengaji di pesantren sampai pulang pagi sebagai santri kalong.
Kemudian pada tahun 1956, saat kelas VI SR, ayah bunda beliau pindah ke Kampung Gunung, Sasak Mauk. Di kampung tersebut terdapat sebuah pesantren tradisional yang didirikan oleh KH. Musa (alm) bin Jalim sebagai tempat belajar mengaji al-Qur’an dan kitab-kitab kuning. Dari sanalah beliau mulai menempa diri, dengan bekal ilmu agama beliau mengembara dari satu pesantren ke pesantren yang lain, dari satu Kyai di suatu daerah ke Kyai yang lain di daerah yang lebih jauh, yaitu belajar kepada KH. Arsyad di Kampung Bojong Sasak Mauk. Setelah tamat SR VI tahun 1957 terus mengaji di kampungnya, baru pada awal tahun 1960 beliau menuntut ilmu di Ponpes Salafiyah KH. Muhiddin (alm) Kosambi – Sepatan Tangerang. Selanjutnya beliau belajar di Ponpes Assalam Gerendeng Tangerang yang dipimpin oleh KH. Abdul Rohim dari tahun 1961 s.d. 1967 (selama 6 tahun) sambil mengaji kitab-kitab alat (Balaghoh) kepada KH. Rifa’i di Pabuaran Sibang Tangerang dan masuk sekolah SMI (Sekolah Menengah Islam) Al-Husna Jl. A. Damyati Tangerang hingga mengikuti ujian UGA (Ujian Guru Agama) dan pada tahun 1965-1966 beliau diangkat menjadi PNS Departemen Agama.
Selain belajar di pesantren salaf, beliau pun belajar di SR sampai perguruan tinggi di Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Kota Tangerang hingga tamat dengan gelas S1 (sarjana) pada tahun 1981.
Beliau menikah pada tahun 1967 dengan seorang gadis yang bernama Embay Nadiyah binti KH. Muhajar di Kenaiban Kota Tangerang. Beliau saat itu masih bekerja sebagai ustadz yang keliling dari satu surau ke surau dan dari masjid ke masjid, mengajar di SD, Madrasah, majlis ta’lim, dan di Ponpes Assalam Gerendeng Kota Tangerang, dll.
Pada setiap bulan puasa walaupun sudah berumah tangga, beliau mengisi bulan itu dengan “mesantren kilat”, antara lain di Kadu Kaweng – Pandeglang pada KH. Sanja dengan mendalami Ilmu Nahwu, kemudian di Kampung Sawang – Medang Asem – Rengas Denglok Kab. Karang pada KH. Hasan Basr (Kang Obay), selanjutnya di Citeko – Plered Purwakarta pada KH. Muhdi (alm), lalu di Goalpara Sukabumi pada KH. Mahmud, hingga akhirnya pada bulan Ramadhan tahun 1983 beliau “mesantren pasaran” tentang Ilmu Tauhid di Manonjaya Tasikmalaya. Saat itu KH. Khoer Affandi (alm) berkata: “Engkau tidak akan aku anggap sebagai santriku, jika engkau tidak membangun pesantren”. Kalimat sederhana namun berbobot ini menjadi pemikiran yang sangat dalam bagi beliau, sehingga dengan tekad yang kuat dan restu Kyai mulailah beliau membangun pondok pesantren di Kampung Rawarotan, Kel. Selapajang Jaya, Kec. Neglasari, Kota Tangerang pada 11 Maret 1983 sampai sekarang.